Penduduk Jakarta ibarat komposisi gado-gado. Rame. Ada suku Betawi sebagai warga asli Jakarta, ada suku Jawa yang sepertinya lumayan banyak ngerubungin Jakarta, ada suku Sunda yang lumayan dekat dengan Jakarta, ada orang-orang dari pulau Sumatera yang hobinya nyeberang Selat Sunda atau naik pesawat, orang Kalimantan juga ada, Sulawesi, juga nun jauh wilayah Indonesia Timur sana. Banyaklah intinya. Makanya Jakarta itu ibarat ‘kampung besar’ yang isinya campur-aduk seperti gado-gado, atau cendol barangkali. Banyak gedung bertingkat menjulang mentereng, tetapi masih banyak ruang kota yang isinya kampung kumuh padat.
But we, citizen, are keep on smiling ;D
Saat mudik kemarin, ceritanya kami hendak menerjang jalur pantura, apapun kondisinya. Baru mau keluar Jakarta-Cikampek via gerbang tol Dawuan, kendaraan sama sekali tidak bergerak. Stuck. Nggak kebayang bagaimana nanti saat melalui jalur sutera-nya Indonesia itu... Walhasil banting setir menuju lintas selatan melalui Purbaleunyi. Lumayanlah perjalanan kami cukup lancar. Sahur di Garut, dan berbuka puasa di daerah Jatilawang, Banyumas. Selain jembatan Sungai Comal yang amblas, ada juga jembatan di daerah Cimahi yang juga amblas. Yep, seni dalam bermudik: macam-macam cobaan, halangan, dan rintangan, tetapi pada akhirnya akan berbuah pada manisnya kemenangan (*lebay,,ahahaha).
Mengapa orang mau repot-repot mudik? Mudik, kata dasarnya udik (bukan uduk please) yang artinya ‘kampung’. Dasar orang udik! Itu artinya dasar orang kampungan. Lha, emang kita semua berasal dari kampung kan? Apa lupa sama pelajaran sejarah bahwa kota muncul dari desa?
Merantau adalah salah satu jalan mencari rezeki. Yah, sama halnya masyarakat Jakarta: berbondong-bondong pulang ke kampung halaman setelah setahun mencari rezeki. Bertemu keluarga dan sanak saudara. Berbagi ‘angpau’ sebagai simbolisme berbagi kebahagiaan. Money can’t buy happiness itu bener. Tetapi money can buy smile and pray untuk menuju happiness itu saya percaya, hehehe. Lebaran usai, kembali ke kota. Kembali menjalani aktivitas mencari rezeki seperti biasa. Mengakrabkan diri lagi pada kekejaman ibukota.
Kampung halaman nenek saya selalu menyajikan lanskap perdesaan yang hampir stagnan. Hampir-hampir tidak ada bedanya sejak saya masih kecil dulu. Selalu ada sawah, hutan kecil, pematang, pekarangan, sungai, kerbau-kerbau yang berkubang, mesin traktor tua, nenek-nenek bersepeda, pemandangan indah Gunung Merapi dan Merbabu serta pegunungan kapur di selatan sana. Saya masih bisa memasak memakai tungu, menimba air di sumur, melihat keluwing merayap di halaman, atau menatap luas kebun yang diisi pohon mangga dan pisang. Yah, mungkin hanya berubah pada jalan desa yang relatif lebih mulus beraspal. Orang-orang yang berusia produktif keluar dari desa: mereka ke kota. Mereka mencari uang. Tak heran kebanyakan kakek-nenek (dan mungkin cucunya) yang ada di desa..
Saya suka suasana desa (meski kadang berpikir jika saya di desa saya akan bekerja jadi apa.. :D ). Saya berpikir mungkin saya bisa bekerja di kota terdekat, mengendari sepeda motor, punya halaman yang rimbun, yang ada ayam bebeknya, yang bisa mendengar jangkrik kala malam, atau melihat kawanan bebek, kambing, dan kerbau beriringin ke sawah. Saya berpikir amat senang bisa lepas dari kemacetan jalanan kota, dering klakson mobil-mobil mewah atau motor-motor tak tahu diri yang kebut-kebutan di jalan.
Lalu, saya merasa haus. Dan saya lantas menggerutu tidak menemukan al*amart.
Yah, dasar orang kota.