Teman saya yang satu ini baru pulang dari negeri kangguru.
Selepas menyelesaikan studinya di sana, kami menyempatkan bertemu di kota kami dulu
sama-sama belajar, Bogor. Sejak tahun 2006 hingga sekarang 2015, kami sama-sama
tak sadar bahwa kami semakin menua, mendewasa (masa iya, ahahaha..), dan menumpuk banyak cerita. Anehnya
setiap bertemu, kami berdua tetap saja ingat masa-masa kami kuliah dulu yang
rasanya udah nano-nano bin gado-gado. Memori kekonyolan jaman kuliah mungkin
tak bisa lepas selamanya barangkali ya? Hanya bisa di recall saat kau bertemu objek
penderita yang sama hehehe. Jadi bisa saya simpulkan, janganlah menganggap
kekonyolan masa laluyang kau buat itu memalukan. Suatu saat dia akan berguna,
dan indah pada waktunya (-halah..).
Februari 2013, Jl Djuanda Bogor |
Setelah puas nyicipin martabak air mancur (asli enak banget, salah fokus)
dan nongkrong di Gramed Padjadjaran, kami singgah di Masjid Raya Bogor. Kami
berdiskusi tentang full minded. Bahwa segala peristiwa yang terjadi jika kau
pikirkan dalam-dalam sebenarnya punya makna. Ada saja hal-hal yang kau anggap
menyebalkan terjadi padahal sebenarnya itu adalah cara Pencipta membuka
pikiranmu tentang sesuatu.
Saya lantas menceritakan tentang banyak hal yang membuat saya
kesal selama ini, khususnya tentang perjalanan studi saya. Teman saya
mendengarkan dengan seksama. Saya dan teman saya, sejak kami kuliah dulu, kami selalu
bergantian bercerita. Kami saling mempersilahkan untuk memulai bercerita. Inilah
yang membuat saya senang berteman dengannya.
Yeah, manusia perlu bercerita. Dan manusia butuh teman yang
baik.
Selepas saya bercerita, kini giliran teman saya bercerita. Teman
saya menceritakan rasanya jadi seorang minoritas di negeri kangguru. Menjadi
seorang muslim, sempat kesulitan dengan pertemanan, dan lain-lain. Hal
menariknya adalah selama ini orang (masyarakat kita) menganggap kuliah di luar
Indonesia adalah sesuatu yang keren. Membanggakan. Suatu anggapan yang sangat
lazim. Padahal menurut teman saya, bukan disitulah inti dari sekolah di luar
negeri. Akademik memang penting, tetapi mental jauh lebih penting. Kau pernah
membayangkan hidup jauh dari keluarga, menjadi seseorang yang minoritas dengan
kehidupan budaya yang jauh berbeda?
Ada suatu fase kehidupan mahasiswa asing yaitu pada
bulan-bulan awal, kehidupan masih terasa menyenangkan. Lantas, semakin lama kau
akan merasa mulai bosan dan segalanya mulai tidak menyenangkan, cerita teman
saya. Disitulah tekanan mulai terasa. Tiba-tiba merasa ingin pulang ke
Indonesia, tiba-tiba merasa tak mampu menjalani tugas-tugas perkuliahan,
tiba-tiba ingin mengakhiri semuanya..
“Disitulah perlunya full minded bos”, kata teman saya.
Justru kadang masa-masa sulit menjadi berharga sebagai momen kita untuk
berpikir lebih mendalam. Kedengarannya aneh memang, tetapi begitulah adanya,
lanjut teman saya itu. Intinya adalah kau harus bersyukur atas segala yang
terjadi, dalam masa-masa baik maupun masa-masa buruk. Khususnya bagi seorang
pelajar yang studi ke luar negeri. Bukan gengsi akademis yang dicari tetapi sesungguhnya
pembelajaran hidup yang harus digali.
Bahkan teman saya menyuruh saya melanjutkan studi ke luar
negeri. “Cari pengalaman bos, studi ke luar negeri itu nggak semudah yang
dikatakan orang tetapi seenggaknya dalam hidup lu ada saat lu pernah jauh dari
zona nyaman lu. Dan gw yakin itu akan membuat lu makin menghargai segala hal
yang lu dapatkan dalam hidup ini..” lanjutnya.
Inilah yang saya suka. Mungkin rezeki saya, bisa bertemu
teman saya ini setelah sekian lama tak berjumpa. Ada pertukaran informasi yang
berharga yang saya dapatkan. Pengalaman teman yang berbagi kisah kehidupan
sesungguhnya adalah nasehat yang baik. Alhamdulilah, saya bersyukur berteman
dengannya.
Saya nyengir sesaat sebelum kami menyudahi pertemuan kami
setelah sekian tahun. “Sebelum gw kabur studi keluar negeri, gw mau beresin
studi gw sekarang dulu ya bos,” balas saya sambil terkekeh.
Agustus 2015, IPB Dramaga. Wah wajah kami tidak berubah :v (*plaaakk..) |
Tidak ada komentar :
Posting Komentar