expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Kamis, 26 Juni 2014

Membenci Jakarta

Kebanyakan teman-teman saya membenci Jakarta, khususnya yang bukan berasal dari Jakarta sih. Wajarlah menurut saya. Temen-temen yang berasal dari Jakarta sih fine-fine aja dengan ibukota Indonesia itu. Ya bagaimana ya,tanah kelahiran sih, meskipun entah bapak-ibu nya bukan asli Betawi, suku asli Jakarta. 

Jakarta memang kota yang keras. Banjir, macet, polusi, sudah jadi konsumsi sehari-hari. Gedung-gedung tinggi yang senantiasa tumbuh dan berkembang entah kapan, menyulap lahan-lahan kosong menjadi sesuatu yang bermakna ekonomi. Uang. Yah, orang-orang mencari uang di Jakarta. Orang-orang datang dari berbagai penjuru, datang berburu uang di Jakarta. Hingga akhirnya saya menyadari itulah ikatan rasa yang dimiliki oleh kebanyakan penduduk Jakarta. Motif ekonomi, mencari penghidupan yang layak dan lebih baik. Suatu alasan yang sangat reasonable.

Namun pada akhirnya, tidak ada suatu rasa yang mengikat penduduk Jakarta (yang notabene kebanyakan pendatang) dengan situasi Jakarta. Jakarta 'menjelma' menjadi kawasan transit nan rumit, hanya untuk sekedar singgah. Kasarnya, Jakarta hanyalah sekedar tempat mencari nafkah. Tidak dipungkiri juga, banyak aktivitas penting yang pasti pernah harus kamu lakukan di kota ini. Kamu harus mengunjungi kota ini (dan sudah pasti tidak ada kata nyaman). Heterogenitas-nya Jakarta, memastikanmu bahwa tidak hanya ada suku Betawi. Pada setiap jengkal tanah Jakarta, akan ada Sunda, Jawa, Batak, Padang, Banjar, Makassar, dan entah ratusan suku lain yang semuanya membaur, bekerja.

Banyak yang berpendapat, Jakarta seharusnya menjadi kota yang totally a city. Sebenar-benarnya kota. Kota yang fasilitasnya sempurna, modern, canggih, tidak ada spot kekumuhan. Tidak semestinya memiliki wujud seperti kampung.

Bukankah Jakarta juga sebuah 'kampung'?

Bukankah semua orang, kita, saya dan kamu, berasal dari kampung? 

Kota bukanlah sesuatu yang statis. Ia terus berkembang dari sebuah kampung-lalu menjadi kota, mendapat tekanan akibat penduduk yang semakin lama semakin membludak. Bahkan dari dalam Jakarta pun, dimana para orang-orang berkuasa pada wewenang banyak bersemayam, tidak otomatis menjadikan Jakarta lebih baik dan manusiawi. Jakarta mungkin sudah terpoles sana-sini, dibenahi berulang kali, didandani, diberi bedak dan minyak wangi. Tetap saja, kau akan tetap dapat temui permukiman kumuh di beberapa bagian Jakarta. Banyak warga submarjinal, yang beradaptasi dengan kehidupan kolong jembatan. Seringkah melihat tukang asongan di perempatan jalan? Atau melihat gerobak pedagang di tepian jalan?

Menurut orang kebanyakan, mungkin hal-hal tersebut mengurangi nilai estetika kota. Mungkin.

(Saya pernah merasa sangat tertolong ketika turun dari bus kota dan hujan turun dengan lebatnya. Seorang ibu pedagang buah, di dekat saya turun dari bis, menawarkan saya untuk berteduh di lapaknya yang sempit.)


Apa yang nampak megah, terbarukan, rupa yang mahasempurna, tidak langsung menciptakan nilai estetika suatu kota. Pembangunan fisik tidak serta merta menjadikan seorang manusia lantas bahagia. Yah, itulah yang saya rasa terhadap kota Jakarta ini. Penduduk kota-nya lah yang bertanggung jawab menjadikan kota ini manusiawi. Menurut saya, manusiawi adalah nilai estetika tertinggi. Masih ada kebaikan sebenarnya yang dimiliki oleh penduduk kota ini.

Aku hanya tersenyum pasrah mendengar cacian segelintir (atau sejamak?) orang, betapa tidak-enaknya-hidup di Jakarta. Saat hujan, banyak yang mencaci. Saat panas menyengat, juga lantas mencaci. Saat terjebak macet dan kendaraan yang kita tumpangi seperti-tak-bergerak semili-pun, cacian meluncur dengan mudah. Fasum dan fasos yang kondisinya tak memadai, dan hhm... Jakarta, selalu tampak 'bersalah'.

Bagaimanapun, kota ini selayaknya tetap mendapat tempat di hati penduduknya. Begitulah.

Selamat menua, Jakarta.