expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Sabtu, 08 November 2014

Jujur

Mengungkapkan sesuatu secara langsung itu perlu adanya. Sampai kapanpun, lawan bicara kita bukan Tuhan yang tahu segalanya, begitu kata sahabat baik saya.  Mengalami kesulitan komunikasi memang pasti dialami oleh semua orang. Ada orang yang tipe kurang peka, ada yang terlalu peka. Ada yang blak-blakan bilang, ada yang tertutup. Tidak ada yang salah, namanya juga tipikal manusia yang sudah pasti tidak ada yang persis identik satu dengan yang lainnya.

Suatu ketika, saya merasakan jatuh cinta pada seseorang. Karena  non verbal saya tak cukup kuat membuktikan (dan bukan hal yang baik mengungkapkan rasa hanya dengan non verbal), akhirnya saya katakan saja. Pernah pula saya merasa kesal dengan tindakan rekanan saya, dan saya diam saja. Berharap rekan saya itu mengerti saya – dan ternyata saya salah besar. Saya beranikan diri saya untuk jujur berkata pada dirinya. Saya pernah merasa keberatan dengan permintaan atasan saya dulu untuk melakukan suatu hal yang di luar jangkauan saya. Langsung saya utarakan ketidaksetujuan saya.

Kejujuran adalah pil pahit yang harus diminum untuk mendapatkan kesembuhan dari suatu penyakit.

Tetapi, dalam pemikiran saya, tidak semua harus kau katakan. Jujurlah pada tempatnya. Lihatlah pada siapa hendak kau bercerita. Simpan rahasia terpentingmu dalam-dalam. Saya pribadi merasa saya ‘aman’ untuk mengungkapkan segala rahasia saya kepada sahabat. Tetapi, sahabat yang baik toh tidak akan memintamu mengungkapkan segalanya pada dia bukan? Bersikap wajar yang utama. Karena setiap orang, selamanya akan memiliki rahasia-rahasia yang hanya dirinya dan Tuhan yang tahu.



Kondangers

Selamat yaa..

Semoga jadi keluarga Samara.. (sakinah mawaddah wa rahmah)

Doain gw nyusul ya..

Kapan nyusul?

Cepet nyusul yaa..



Usia saya sekarang ini adalah usianya orang-orang untuk menikah. Saya, laki-laki usia 26 tahun, jomblo, dan menerima undangan pernikahan hampir setiap minggunya. Pengirimnya tak lain tak bukan adalah kawan-kawan saya: kawan dari SMP, SMA, hingga kuliah. Bahkan saat ini tren mengirimkan undangan dengan cara yang lebih eco yaitu via whatsapp, message di facebook, atau BBM. Tanpa mengurangi rasa hormat, saya memaklumi bahwa era saya hidup sekarang ini adalah era paperless. Konyolnya, saya suka lupa dengan tipe-tipe mengundang yang lewat message facebook.

Facebook saya sudah ada sarang laba-labanya.

Apakah saya iri dengan teman-teman yang sudah menikah duluan? Yeah tentu saja. Saya hanya manusia biasa, bukan alien dari planet antah-berantah. Fitrah setiap manusia memang ingin berpasang-pasangan: berkeluarga, memiliki keturunan, melebarkan kekerabatan.

Sebagai laki-laki berusia 26 tahun, dan jomblo, menghadiri resepsi pernikahan teman sendiri nyatanya bukan hal yang mudah pula. Yeah, saya termasuk aliran yang berpikir bahwa menghadiri resepsi pernikahan memang lebih enak berdua dengan yang resmi (ehem), ataupun, dengan teman-teman komplotan satu angkatan.

Menghadiri resepsi pernikahan seorang diri bagi saya pribadi agak ngemalesin.

Bahkan saya pernah mengajak adik saya. Lumayan, makan gratis. Hahaha.

Bertemu teman-teman yang sudah menikah, lalu ditanya-tanya kapan menyusul, bagi saya pribadi itu menjengkelkan (doakan saja ya, begitu selalu jawaban saya sambil nyengir kuda). Jadilah saya selalu datang di awal acara, salaman dengan mempelai, lalu makan sekedarnya, lalu bergegas pulang. Kadang saya salaman di akhir: celingak-celinguk mencari teman-teman yang mungkin saja saya kenal, ngobrol, makan, baru salaman, lalu pulang. Model resepsi ala standing party dengan durasi sekitar tiga jam memungkinkan saya melakukan hal tersebut.

Catatan : nggak ada ketentuan bahwa dalam menghadiri resepsi kita harus salaman dulu atau makan dulu. Kalau saya lapar berat, saya langsung makan. Kalau saya lagi pengen salaman dulu, makan belakangan. Woles aja.

Sebenarnya bertanya kapan menikah itu bentuk perhatian teman-teman. Mungkin semacam cambuk biar cepat juga. Berkali-kali ditanya seperti itu, sekarang saya jadi kebal. Saya jadi berpikir awas aja yang nanya-nanya begitu nanti nggak datang jika saya nanti mengadakan resepsi (*toyor). Dibawa asyik saja lah. Sabarlah, jalan manusia memang beda-beda. Terima kasih atas perhatian Anda semua. Hahaha.