Saya biasa memanggilnya
Om Anto. Suami dari adik ibu saya ini
orangnya luar biasa ramah dan piawai mereparasi speaker. Di rumahnya, om saya membuka jasa reparasi speaker bersama saudara-saudaranya. Perawakan om saya tinggi, dengan wajah nyaris seperti orang Tionghoa. Padahal, om saya itu orang
Jawa tulen lho. Hahaha.. Oya, Om saya rajin fitnes sejak lama. Biasalah,
namanya juga om-om, hehe. Badannya jadi bagus. Sekarang saya sendiri ini sudah masuk
kategori om-om tapi badan saya belum bagus-bagus. Tapi entah kenapa saya malas ke
gym. Cukuplah lari-lari sama angkat beban biar berbentuk.
Tiap saya pulang kampung
entah karena mudik atau ada acara keluarga ke Solo bersama, om saya senantiasa
ramah menawarkan untuk jalan-jalan. Om saya mungkin paham, orang Jakarta
(halah) seperti saya ini haus akan nuansa yang berbeda dari biasa. Nuansa kota
yang berbeda dari yang namanya Jakarta. Om dan adik ibu saya tinggal di kota,
sementara rumah mbah ti saya di desa di Klaten. Jarak 15 km jadi tidak begitu
terasa karena masih tergolong sepi, meskipun sekarang ini mulai ramai oleh
kendaraan.
Saya dulu pernah diajak
om saya keliling naik motor gede dan sempat mampir di sebuah
warung pinggir jalan kecil di seputaran Sukoharjo. Saya kala itu masih di
bangku SD, sekitar tahun 1997. Om saya baru setahun menikah dengan adik ibu saya. Om Anto menawarkan saya beberapa jajanan pasar
di warung pinggir jalan itu. Yang saya ingat, ada kue nagasari, kue kesukaan
saya. Ada juga jajanan pasar lainnya yang entah apa itu namanya. Saya masih ingat latar persawahan dan suasana jalan yang relatif sepi. Sebagai
bocah SD yang suka makan, saya lahap saja. Om saya berbicara bahasa Indonesia
dengan aksen Jawa-nya yang khas. “Mas Pram mau kue yang mana lagi?”.
Beberapa kali om saya itu
juga berkunjung ke Jakarta, ke rumah saya. Dan om saya selalu merasa pusing.
Kata om saya, Jakarta terlalu macet, pusing, kemerungsung. Pernah saya ajak
jalan-jalan ke Taman Mini, pulang-pulang om saya tidur. Pusing. Maklumlah, Solo
dengan Jakarta berbeda drastis. Di Jakarta, orang terbiasa main kasar di jalan,
memainkan klakson, menyalip sembarangan. Di Solo, relatif jarang dijumpai. Jadi,
bukan hal aneh kalau om saya itu peka terhadap lingkungan Jakarta yang keras.
Tahun lalu saya pulang ke
Solo naik pesawat bersama anak om saya yang paling besar. Om saya punya
satu anak perempuan dan tiga anak laki-laki. Alhamdulilah kami semua akrab
meski terpaut usia dan jarak yang jauh. Saya baru berkesempatan mengajak sepupu
saya itu, mungkin suatu saat saya akan mengajak yang lainnya jalan-jalan. Om
Anto menjemput saya dan Ica ke Bandara Adi Sumarmo bersama kawannya. Saya
boncengan dengan Om Anto (kami naik motor). Jarak bandara dengan Kota Solo yang
sebenarnya lumayan jauh jadi tidak terasa karena lancar. Selama perjalanan Om
Anto menjelaskan objek-objek wisata Solo, verboden, jalan satu arah, dll. Meski
hampir tiap tahun ke Solo, saya belum begitu paham dengan kota budaya ini. Saya
senang karena om saya ini menjelaskan detail kota kelahirannya itu.
Lebaran 2014 lalu kami keluarga besar, termasuk om saya, berkumpul di rumah mbah ti. Keluarga besar, dengan sekian orang, tentunya sulit berkumpul kecuali saat momen Lebaran tiba. Rumah mbah ti yang benar-benar terletak di desa, menjadi tempat favorit kami berkumpul. Mungkin hanya saat Lebaran tiba kami yang biasa sibuk dengan urusan masing-masing benar-benar berkumpul dan menanyakan kabar.
Dan pada awal Januari 2015 kemarin, om Anto
berpulang karena sakit. Begitu cepat. Kabar itu kami terima saat jelang subuh.
Saya sempat bingung, seperti tidak mungkin rasanya hal itu terjadi. Om saya
yang ramah itu tak akan pernah lagi menyambut kedatangan kami di Solo, tak akan lagi berkumpul kala Lebaran tiba. Saya sendiri
saat itu tidak bisa ikut ke Solo untuk menghadiri pemakamannya karena satu dan
lain hal. Tapi kala itu saya berniat bahwa saya segera akan ke Solo, sekedar
mengunjungi pusaranya.
Kepergian om saya di awal
tahun ini jujur sangat mengharubirukan kami. Pada akhirnya hanya doa
yang bisa saya berikan untuknya.
Selamat jalan, om Anto..