expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Rabu, 23 Juli 2014

Memori Ramadhan

1994

Saya masih bisa mengingat dengan jelas, waktu itu saya sarapan di kolong meja makan. Meja makan rumah kami agak tinggi, cukup untuk tempat ngumpet anak-anak berbadan kecil seperti saya. Entah kepikiran dari mana untuk berperilaku seperti itu. Saat itu hari Minggu, dan masa awal-awal Ramadhan. Ibu saya memberikan sarapan kepada saya yang kelaparan. Kakak-kakak saya waktu itu juga masih sekolah dasar dan belajar berpuasa. Senangnya 'belajar berpuasa' adalah dimana saya bisa berbuka saat azan zuhur untuk makan-minum dan lanjut kembali sampai bedug maghrib :D


1998

Bapak mengajak pulang ke rumah si mbah untuk beberapa hari - dan saya lupa dalam rangka apa pulang. Waktu itu tengah-tengah puasa. Cuaca sangat panas. Kami pergi berdua naik kereta api. Waktu itu saya baru kelas lima. Sepulangnya dari kampung, badan saya mendadak sangat lemas hingga akhirnya batal berpuasa. Di Stasiun Jatinegara, saya terduduk lemas. Tubuh benar-benar tidak fit. Waktu itu rasanya aneh. Membatalkan puasa, di tengah hari. Amat sayang sih, tetapi mau bagaimana lagi. Bapak juga bilang tidak perlu memaksakan diri.


2001

Menjadi anak baru gede memang biasanya selalu disuruh-suruh dan pasti disuruh-suruh. Saya bersungut-sungut kesal kebagian disuruh mencuci piring dan gelas kotor setelah waktu berbuka di masjid di kampung kami. Belum ada spons pencuci piring seperti sekarang: kuning seperti spongebob. Apalagi cairan bersih kesat aroma jeruk. Hanya ada plastik yang mendadak jadi spons dan sabun colek yang aromanya terkadang tersisa di piring dan gelas. Hal yang paling membingungkan ketika para pemberi takjil tidak menyertakan nama di nampan. Bagaimana caranya mengembalikan nampan kepada mereka?
Teman-teman saya sudah terlanjur kabur duluan. Yasudah, kabur juga lah.


2002

Kebijakan pemerintah untuk meliburkan kami selama puasa sepertinya salah besar. Tugas LKS membanjiri meja belajar (yang ujung-ujungnya diselesaikan dalam last minute :D ). Saya bahkan masih ingat lupa caranya untuk menulis. Pulpen seperti benda yang sulit dipakai setelah libur puasa dan lebaran berakhir. Yeah, kebanyakan liburan itu nggak bagus. Puasa jadi tidak produktif. Meski malas, sedikit-sedikit saya mengerjakan LKS aneka mata pelajaran sambil nonton televisi. Yang paling dinanti sih 'hidangan ramadhan'. Kadang sambil membayangkan nikmatnya minum sirup dingin gara-gara lihat iklan sirup marjan.

Saat hari H Idul Fitri, anak-anak yang lebih besar mengangkut mimbar, dan karpet menggunakan mobil bak terbuka. Shalat Ied diadakan di lapangan besar di depan gang kampung kami. Suara takbir membahana, sementara jalan raya yang ada di sisi lapangan mendadak lengang tanpa kendaraan. Baju-baju putih bersih dan bau baru membuat nuansa baru Idul Fitri semakin terasa. Apalagi setelah shalat Ied kami akan dapat salam tempel, hihihihi


2003

Ikutan pesantren kilat (sanlat) dan tengah booming lagu jagalah hati-nya Snada. Itu nge-hits banget lho. Saking nge-hits-nya kakak perempuan saya membeli kasetnya. Saat sanlat, kaset Snada itu diputar entah berapa kali. Kegiatan sanlat salah satunya adalah mendengarkan ceramah. Saya yang hobinya tidur, amat sangat tidak tahan dengan ceramah di ujung malam. Dan ketika jam dua malam - dua jam sebelum waktu sahur - kami shalat tahajud bersama.
Tahun ini pertama kalinya ikutan membagikan zakat fitrah di malam takbiran. Anak-anak yang lebih besar di kampung saya bertugas mendorong gerobak penuh dengan beras. Badan mereka besar-besar dan sering berkelakar khas anak-anak besar. Beberapa diantara mereka memegang amplop berisi uang dan bertuliskan nama para mustahik. Sementara saya - golongan anak-anak kecil dan sedang - ikut meramaikan suasana dengan membantu mendorong gerobak yang sudah renta. Dasar gerobak renta itu penuh dengan ceceran beras gara-gara kantung plastik yang tipis. Belum lagi sepanjang jalan kami semua tidak menyadari ada ceceran beras yang juga nelangsa di gang-gang sempit menuju rumah mustahik Yang saya ingat saya berdoa semoga dosa kami diampuni.


2005

Warga di kampung kami semakin banyak. Pendatang. Membawa anak istri dan kerabatnya. Satu per satu rumah-rumah muncul. Saya semakin bingung dengan nama-nama yang terdaftar di dalam daftar para mustahik. Yah, ibukota. Perubahan yang begitu cepat, tetapi tidak secepat gerobak renta kami yang terseok mengangkut karung-karung beras. Gerobak itu masih sanggup menyusuri gang-gang sempit, menyelesaikan tugas mulia mengantarkan zakat fitrah.


2007

Saya dan teman saya mencoba safari tarawih: nyobain tarawih di berbagai masjid yang tersebar di sekitar kampung kami. Kami mencoba ke masjid di kampung sebelah kampung yang lebih besar. Ternyata, mereka melaksanakan tarawih 23 rakaat. Dua kali salam. Dan itu sungguh cepat, hampir-hampir saya merasa kalau saya sedang erobik. Uwoo..capeknyaa.. Masjid yang kami datangi ini kubahnya lucu, seperti jamur. Makanya teman saya sering nyeletuk kapan lagi bisa tarawih di masjid mario bross itu.
Sementara itu, masjid di kampung saya saat itu tengah dibangun. Semoga masjid cepat selesai, begitu pinta saya yang saya ingat saat itu. Masjid di kampung hanya sebelas rakaat. Lumayan, tidak terlalu ngos-ngosan dan bisa santai.


2009

"Kepada remaja, dimohon jangan pulang dulu untuk membantu membereskan masjid"
Takmir masjid mengumumkan pengumuman itu selepas shalat Ied selesai. Yeah, tahun-tahun belakangan ini kami melakukan shalat Ied di masjid - tidak lagi di lapangan besar di depan gang kampung kami. Lapangan besar tersebut padahal lumayan asyik untuk shalat: bisa menampung sekitar 3-4 kampung di sekitarnya.
Aku dan temanku bergegas kabur. Oh no, membereskan masjid..(udah nggak tahan pengen sambal goreng kentang :P). Tahun lalu kami harus menghitung belasan uang dari kotak amal dan menggulung karpet. Gatal sekali rasanya, pengen pulang. Tahun ini, akhirnya saya benar-benar kabur.


2014

Saya sekarang 26 tahun, Fyuuh..

Ramadhan tahun ini, kami digilir untuk naik ke atas mimbar: membacakan hadits-hadits. Rasanya lebih seram daripada sidang ketemu dosen. Masjid, rumah Allah. Banyak sesepuh kampung dan para bapak yang sudah bergelar haji. Saya cuma berharap saya tidak keseleo lidah lagi saat naik mimbar (saat pertemuan pertama saya menyebutkan 'Abu Musa' menjadi 'Nabi Musa').
Setelah beberapa tahun yang 'kosong', tahun ini takmir mengadakan belajar tajwid. Lumayanlah membenarkan bacaan saya yang suka terpeleset. Alhamdulilah ya Allah saya diberikan kesempatan bertemu Ramadan tahun ini... :)