expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Kamis, 04 Juli 2013

Anomali bulan Juli



Juli yang seharusnya adalah Juli yang panas, cerah, penuh dengan cahaya matahari. Namun berita di radio belakangan ini memberitakan isu yang entah orang anggap sudah basi barangkali: global warming. Dan akhirnya menyebabkan suatu keanehan dalam bidang keikliman dan kecuacaan, menimbulkan suatu anomali. Anomali yang menjadi rahasia umum sehingga tidak terasa ‘istimewa’.
Beberapa hari ini hujan seringkali turun. Teori yang selalu ku ingat dari buku-buku adalah Indonesia mengalami musim penghujan pada Oktober – Maret, dan musim kemarau pada April – September. Kelakar lain, adalah bulan berakhir –ber dipastikan hujan pasti turun: September, Oktober, November, Desember. Maret, mak ret, yang di dalam Bahasa Jawa diartikan suatu kondisi hujan yang telah berhenti. Dari kecil, memoriku masih cukup normal. Aku selalu ingat Oktober yang selalu hujan, November, Desember, Januari, Februari, dan akhirnya mereda saat Maret masuk. Saat Juli dan Agustus, aku masih ingat betapa hari-hari berjalan begitu cerah dan semangat, sesemangat matahari untuk tiap pagi menyilaukan dan membuat aku ingin selalu membuat minuman dingin dan bermain kipas angin di ruang keluarga.


Saat ini, semuanya bisa saja terjadi. Nothing is impossible. Juni kemarin aku masih merasakan hujan cukup lebat yang turun yang membuatku harus kembali mengambil selimut yang rasa-rasanya tak pernah kupakai pada musim penghujan kemarin. Juli awal ini pun masih. Dibalik semua anomali ini, aku merasa senang-senang saja. Aku masih bisa berselimut menyeruput teh manis hangat sambil mendengar riak hujan yang turun sedari sore sampai larut malam. Aku masih bisa memakai payung atau mantel hujan kala harus mengemudikan sepeda motor. Memandang sedikit kabut yang turun di Jakarta sebagai hal yang amat aneh. Tetapi di belahan dunia yang lain, mungkin bagi para petani, pelaut, dan berbagai profesi lain yang mengandalkan pengetahuan keikliman dan kecuacaan selama beratus tahun dari zaman leluhur mereka, dalam dasawarsa terakhir pastilah sudah merasakan ada yang tak beres dengan perilaku alam. 


Manusia, alam, memang tak pernah lepas. Seperti Bogor dan hujan, kota yang menarik karena kapan saja hujan bisa tiba-tiba turun sehingga mungkin orang Bogor tak pernah luput dengan payung mereka. Seperti Puncak dan hawa sejuknya, yang menjadi petilasan sakti bagi orang-orang Jakarta untuk mencari kesejukan dan udara yang berbeda sebagai obat penawar racun polutan yang sehari-hari mereka hirup. Seperti Jakarta dan banjir, yang menjadi sahabat sejati yang mungkin menandakan keberkahan ekonomi sejati karena luapan air dari belasan sungai seolah rezeki lima tahunan.

Yeah, anomali. Jalani saja ke-anomali-an ini.