Juli
yang seharusnya adalah Juli yang panas, cerah, penuh dengan cahaya matahari.
Namun berita di radio belakangan ini memberitakan isu yang entah orang anggap
sudah basi barangkali: global warming.
Dan akhirnya menyebabkan suatu keanehan dalam bidang keikliman dan kecuacaan,
menimbulkan suatu anomali. Anomali yang menjadi rahasia umum sehingga tidak
terasa ‘istimewa’.
Beberapa
hari ini hujan seringkali turun. Teori yang selalu ku ingat dari buku-buku
adalah Indonesia mengalami musim penghujan pada Oktober – Maret, dan musim
kemarau pada April – September. Kelakar lain, adalah bulan berakhir –ber
dipastikan hujan pasti turun: September, Oktober, November, Desember. Maret, mak ret, yang di dalam Bahasa Jawa
diartikan suatu kondisi hujan yang telah berhenti. Dari kecil, memoriku masih
cukup normal. Aku selalu ingat Oktober yang selalu hujan, November, Desember,
Januari, Februari, dan akhirnya mereda saat Maret masuk. Saat Juli dan Agustus,
aku masih ingat betapa hari-hari berjalan begitu cerah dan semangat, sesemangat
matahari untuk tiap pagi menyilaukan dan membuat aku ingin selalu membuat
minuman dingin dan bermain kipas angin di ruang keluarga.
Saat
ini, semuanya bisa saja terjadi. Nothing
is impossible. Juni kemarin aku masih merasakan hujan cukup lebat yang
turun yang membuatku harus kembali mengambil selimut yang rasa-rasanya tak
pernah kupakai pada musim penghujan kemarin. Juli awal ini pun masih. Dibalik
semua anomali ini, aku merasa senang-senang saja. Aku masih bisa berselimut menyeruput
teh manis hangat sambil mendengar riak hujan yang turun sedari sore sampai
larut malam. Aku masih bisa memakai payung atau mantel hujan kala harus
mengemudikan sepeda motor. Memandang sedikit kabut yang turun di Jakarta sebagai hal yang amat aneh. Tetapi di belahan dunia yang lain, mungkin bagi para petani,
pelaut, dan berbagai profesi lain yang mengandalkan pengetahuan keikliman dan
kecuacaan selama beratus tahun dari zaman leluhur mereka, dalam dasawarsa
terakhir pastilah sudah merasakan ada yang tak beres dengan perilaku alam.
Manusia, alam, memang tak pernah lepas. Seperti Bogor dan hujan, kota yang
menarik karena kapan saja hujan bisa tiba-tiba turun sehingga mungkin orang
Bogor tak pernah luput dengan payung mereka. Seperti Puncak dan hawa sejuknya,
yang menjadi petilasan sakti bagi orang-orang Jakarta untuk mencari kesejukan
dan udara yang berbeda sebagai obat penawar racun polutan yang sehari-hari
mereka hirup. Seperti Jakarta dan banjir, yang menjadi sahabat sejati yang
mungkin menandakan keberkahan ekonomi sejati karena luapan air dari belasan
sungai seolah rezeki lima tahunan.
Yeah, anomali. Jalani saja ke-anomali-an ini.
1 komentar :
ecoman bersabda...
Posting Komentar