|
Ilustrasi rasi bintang. Diunduh dari: www.fireplaza.com |
Dua hari terakhir.
Jo, Sapu, Gito, Ari, dan saya.
Kami semua terperangah. Menengadah menatap langit. Merasa kecil. Entah apa jauh di atas sana. Bima Sakti.. galaksi.. black hole..
Saya paling bersemangat, bertanya pada Sapu, Gito, dan Ari. Apa itu bintang, rasi bintang, komet, meteor, kiamat *eh. Sebenernya nggak mau ngobrol yang ilmiah, tapi, berhubung situasi dan kondisi yang mendukung, saya getol bertanya pada mereka bertiga.
Subhanallah.. langit yang begitu bersih! Bahkan saya lupa kapan terakhir kali bisa melihat bintang-bintang bertaburan terhampar di langit malam. Serius,, langit Jakarta tak pernah sebersih di sini. Mungkin terakhir kali saya perhatian terhadap bintang ketika saya melihat Venus saat Ramadhan jaman SD silam.
Sebenarnya hari sudah larut, sudah saatnya bagi kami untuk tidur. Tapi namanya mumpung, saya masih malas beranjak tidur. Saya memilih bale-bale di dekat pantai untuk menatap langit. Yeah, kami berlima ada di pantai. Pantai Bumbang namanya, terletak di pesisir selatan Pulau Lombok. Penginapan yang kami tempati ini adalah satu-satunya. Sepi. Kelewat sepi malah. Jadi horor sendiri sih, hahaha.. Untunglah horornya ramean. Asli jauh banget kalau mau kemana-mana. Isolated. Yang terdengar hanya lolong anjing kala malam dan debur ombak di pantai. Nyesel nggak nyetok roti buat ngemil malem.
Teringat terakhir kali saya nonton di Planetarium Taman Ismail Marzuki di Cikini. Sementara Gito, Ari, dan Jo, asyik ngobrol tentang astronomi, saya dan Sapu sibuk ngobrol sambil menengadah ke atas. Pegel sih, tapi asik. Kapan lagi ngeliat gemintang bertaburan di langit! Sayang saya tak bisa foto. Perlu teknis khusus yang lumayan ribet. Apalagi pakai kamera 5 megapiksel,,bhehehe.. kefoto dari hongkong :P
Sapu sibuk membuka referensi mengenai cara melihat rasi bintang. Stellarium kalo nggak salah. Sapu mengatakan bahwa bentuk salib di langit yang kami lihat adalah rasi Libra. Meski awalnya sulit, akhirnya saya berhasil 'membayangkan' bahwa itu adalah Libra: digambarkan dalam wujud timbangan. Lalu saya berhasil melihat Scorpio. Selebihnya, duh saya nyerah. Sapu masih serius mencocokkan rasi bintang di langit dengan referensi di ipad-nya. Jo dan Ari masih semangat ngobrol tentang astronomi. Gito nguap.
Katanya sih ada rasi baru ya yang ke-13. Ophiuscus kalo nggak salah. Saya udah nyerah njerengin mata ngehubungin titik-titik bintang, hehehe.
Melihat rasi bintang, bagi orang jaman dulu itu banyak gunanya (jaman sekarang juga tetep berguna lah). Menentukan arah pelayaran, menentukan musim untuk bertanam, hmm..menentukan awal puasa dan Idul Fitri juga.. ilmu falaq namanya. Nggak kebayang para pelaut di tengah lautan, berharap pada terang bintang untuk menentukan arah.. wuih..
Saya tiba-tiba ingat mengenai polusi cahaya di sebuah majalah yang ngomongin geografi dan negara. Dikatakan bahwa langit semakin 'kotor' akibat polusi cahaya lampu perkotaan. Dan akibatnya, bintang semakin sulit terlihat. Untuk melihat bintang, kita memang harus berada di lokasi yang minim cahaya. Di Bandung, ada namanya Observatorium Bosscha. Kata temen sih, pembangunan kawasan sekitar Bosscha mulai mengkhawatirkan karena terangnya sinar lampu mengganggu kekhusyukan pengamat untuk mengamati bintang.
Mungkin di Bumbang sini perlu dibikin observatorium. Langitnya bersih banget, hahaha (ngawur).
Di negara saya ini, ada nggak ya orang/pihak/badan yang kepikiran tentang penataan kota untuk mengurangi sorot lampu sehingga penduduk bisa lihat bintang? Hmm,,boro-boro deh kayaknya.
"eh liat nggak ada bintang jatuh?" ujar Sapu dan Gito berbarengan. Kami yang bertiga nggak sempat lihat.
Tak perlu bintang jatuh, gemintang yang menghampar di langit seperti ini saja sudah buat saya senang bukan main.. *norak ya, jarang liat bintang hehehe
"Pram, balik nyok" tegur Jo. Entah berapa lama saya bengong ngamatin bintang. Sambil beranjak ke kamar, sesekali saya menoleh menatap langit.