Mama mungkin orang paling rumit yang saya temui. Orang yang paling banyak berdebat, bertengkar, namun di satu sisi juga orang yang dekat dengan saya. Wajah saya pun didominasi karakter Mama (kecuali mata saya, warisan dari Bapak). Mama adalah tipikal kebanyakan mama-mama yang senang memakai daster, senang menonton sinetron, memasak, ke tukang sayur, ke pasar, menjahit, membuat kue.
Di usia 28 tahunnya Mama - seperti umur saya ini - Mama sudah punya tiga orang anak. Mama cepat menikah, usia 19 tahun. Bagi saya mungkin mama kelewat cepat. Mama mungkin tak sebegitu menikmati masa muda dengan berkuliah, jalan-jalan, bermain dengan teman-teman, dan sebagainya. Mama justru memilih mengabdikan diri terikat dalam pernikahan. Mama selalu di rumah, rumah adalah Mama. Pergi kemanapun, saya suka disambut oleh Mama di rumah. Saya selalu suka masakan Mama. Apapun yang Mama sajikan, saya selalu makan.
Mama melakukan segala pekerjaan rumah dengan telaten: memasak, mencuci, menyapu, menjahitkan kami baju seragam, menjemput kami pulang les di SD saat selepas magrib, dan menata isi rumah. Mama yang saya ingat dulu badannya masih agak kurus. Mama suka tidur siang karena dulu kami tak punya mesin cuci: bayangkan mencuci pakaian tiga orang anak tanpa mesin cuci lalu menaiki tangga ke atap dak dapur rumah. Mama berdiri di dapur begitu lama. Mama juga sesekali mengajar kami mengaji, mengajarkan peer matematika, di sela-sela menjahit gunungan pakaian.
Terkadang saya dan Mama memang tak sejalan. Apa saja bisa diributkan. Saya sayang Mama, meski cara sayang saya ke Mama tak semulus dan seindah angan. Mama jarang memuji kami, hampir-hampir saya merasa Mama tak bangga dengan kami. Hingga pada suatu saat Mama meminta maaf bahwa Mama tak pernah mengatakan bahwa Mama bangga dengan kami. Hm, sesekali saya memang ingin dipuji Mama. Jujur. Tetapi, Mama adalah Mama yang sudah seperti itu adanya. Semoga Mama senantiasa sehat ya Ma,
Anakmu nomor tiga yang suka ndableg,
Pram
Tidak ada komentar :
Posting Komentar