expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Kamis, 20 Juli 2017

Menuju kepala tiga




Menuju kepala tiga. Gile lo, kepala tiga... Umur: 30 tahun. Secara tampilan, usia tiga puluh itu udah tua. Rambut gw yang secara genetik tipis dan jarang makin terlihat jarang (kzl). Makan sedikit langsung jadi daging dan menambah volume perut. Seharusnya tuh ya..udah lagi sibuk berkarier, punya keluarga kecil bahagia, merawat anak yang lagi lucu-lucunya, udah jadi bapak-bapak dan punya KK sendiri, hahahaha.

Whoooppss...itu pikiran gw aja kali. Kenyataannya: lagi ngambang sama status kerjaan; kerjaan numpuk-menumpuk; belon berkeluarga, calon pun yah-begitu-dah-hahaha..

Kalo udah kepala tiga, seharusnya gw udah berkeluarga karena gw bakal ketuaan pas punya anak (kata bokap gw). Nanti pas anaknya udah SMA gw nya udah keburu tuaa banget.. Nanti gw pensiun anak gw masi sekolah..nanti gw udah tua renta ga bisa apa-apa (kok jadi menyeramkan). Yaa..pengennya mah ya udah punya istri-anak. Bagaimanapun gw yg sekarang ini belum sampai ke bab itu. Gw sekarang masih bab metodologi :P

Sudah jutaan undangan pernikahan gw lalui (lebay) dan awalnya gw merasa sensitif gitu tiap mau pergi kondangan "hey gw kapan yaa" lama-lama seiring berjalannya waktu dan gw tipenya males berpikir "yaudah deh nti aja", dan gw gak sensitif lagi sama undangan.

--kemudian gw udah mau kepala tiga--

Nah, yg gw incer ini kepalanya juga udah mau tiga. Samaan dong umurnya.. Emosinya? Yah ga tau dah. Kalo gw memang orangnya ya kaya begini: nggak serius, suka bercanda tp lebay, suka marah tapi cepet lapar (?),.. sebegitu gak jelasnya gw ini sehingga berimbas dengan tipikal calon yang gw suka pun ga begitu jelas mau-apa-nggak,, hmm

Temen-temen gw hampir semua bilang kalo calon yg gw bakal jadikan istri ini orang yang dominan. Dominan dalam artian suka kadang-kadang temperamen, kadang nggak. Suka tiba-tiba cetar galak lalu tiba-tiba baik. Sementara itu, gw dipandang (katanya sih ya..gw sih ga ngerasa juga) sebagai orang baik, penyabar, welas asih (triiinggg... jadi dewi kwan im yang nongol dari hutan bambu).

Gak tau juga sih kenapa gw suka si dia itu. Ditanya alasannya apa, ya yang jelas dia orangnya baik, diajak ngobrol nyambung, cerdas. Udah kenal sejak S-1. Kami sama-sama hancur dalam meniti hubungan dengan mantan kami sebelumnya, hahaha. Kemudian kami berpacaran yang sebenernya nggak pacaran tapi pacaran.  Kalo masalah fisik seperti cantik kulit putih rambut panjang gw sih bodo amat lah ya, harus inner nya dulu sih. Buat apa fisik cantik maksimal kaya princess tapi ga enak diajak ngobrol, bertukar pikiran, ga cerdas dll. Tapi kalo dia udah pembawaannya dominan, yah gimana lagi ya. Gw harus jadi lelaki yang mengarahkan perempuan (masa gw yang diarahkan perempuan?)

Gw intinya bingung aja sih.

Dan sekarang gw juga jadi agak-agak males nanya ke dia karena dia juga males merespon pertanyaan gw. Tapi kata temen gw, gw harus rajin-rajin pendekatan ke orang tuanya biar mereka suka sama gw. Sekarang tinggal gw nya: kapan gw mau ajak dia.. Ntar lah ya, dia masih sibuk sama sekolahannya. Gw juga masih seneng sama kampus (dih, nggak juga sih wkwkwk). Kalo bisa segera sih maunya. Gw ga mungkin juga memaksa dia kalo memang dianya ternyata gak suka sama gw kan.. Jadi dia tu suka sama gw atau nggak itulah pertanyaan besarnya.Kita liat nanti saat pertemuan keluarga.

Fyuhh...




(Lupa diri) lulusan Arsitektur Lanskap


Mahakarya gw yang bisa dibilang "hmmm apa nih.." dan mengernyitkan dahi banyak orang. Ceritanya mau buat CPG a.k.a. Children Playground tapi jadinya kaya dus-dus numpuk :P
Makin kesini gw makin bingung siapa diri gw ini sebenarnya. Mungkin gw nulis ini karena gw disaat dalam tekanan deadline proyekan yang sebenernya benefit banget tapi gw sadar kapasitas diri gw yang so so.

So what?

Itulah yang jadi pertanyaan dari diri gw. Gw kan lulusan jurusan arsitektur lanskap (ARL), dari kampus ternama di kota hujan sana, yang katanya termasuk favorit, terbaik di asia, (agak) langka, dan ternyata bidang pekerjaannya juga sebenernya prospektif namun masih abu-abu.. tapi, begini ini lulusannya. Agak sedih sebenernya. Ada banyak hal di dalam ilmu ARL yang bagus-bagus namun tidak terejawantahkan dalam kehidupan gw.

Sekarang liat deh, apa sih kualifikasi lulusan ARL idaman pangsa pasar Indonesia? Bisa CAD, bisa SketchUp, Photoshop, LUMION (wtf ini software ga bisa gw pasang di leptop jebot gw). Pengetahuan basic lulusan ARL? Bisa mendesain tu wajib, tahu tanaman lanskap okay, bisa remote sensing kalo survei lapang itu good, bisa buat apa lagi hayo.. hahaha *ketawa gila

I don't mean to blame my previous institution. Dunia kerja memang beda sama dunia perkuliahan. Tapi mengapa gw merasa gw kaya lulusan abal-abal yang cuma tahu teori tapi nggak jago mendesaiiinnn... 

Gw hampir lupa diri kalo gw adalah lulusan Arsitektur Lanskap.

Dan sering gw merasa gw bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, dan nggak jadi apa-apa.. hmm..

Dunia kerja dan dunia perkuliahan bedanya beda pake banget banget. Materi perkuliahan memang dibuat untuk mahasiswa siap kerja meskipun kenyataannya kebanyakan materi juga kebanyakan tidak masuk ke dalam kepala.

Bagaimanapun, dengan status gw yang gw rasa berat banget ini (lajang, eh, dosen.. *gie lo pram lo tu dosennn) gw pengen mahasiswa gw bisa lebih jago dari gw. Masalahnya gw ga jago gini-ginian. Pengen deh kuliah khusus ngedesain pake software segala rupa itu biar gw ciamik dan bisa lancar tutorial ke anak-anak mahasiswa.

Dalam kondisi gw yang dikasi kerjaan untuk mendesain sebuah mahakarya pretisius di sebuah kota penyangga Jakarta ini, gw merasa nothing banget pake to do dah. My skill? I can't help it lah.

Being a lecture is really really not an easy task!


Kamis, 25 Mei 2017

Old Town

I don't know who is the fool in my story: me or her. It has been six months since we have talked about something in seriously way but I don't know should I still love her or just forget her at all.




--------------


The girl's a fool
She broke the rule
She hurt him hard
This time you will break down
She's lost his trust
And so she must
Now all is lost
The system has broke down
Romance has broke down
This boy has broken down
This boy is crackin' up
This boy has broke down
She plays it tough
But that's enough
The love is over
She's broke his heart and that is rough
But in the end you'll soon recover
The romance is over
This boy has broken down
This boy is crackin' up
This boy has broke down
This boy has broken down
This boy is crackin' up
This boy has broke down
In the old town
It's not the same honey
With you not around
I've been spending my time
In the old town
I sure miss you honey
You're not around
This old town
This boy has broken down
This boy is crackin' up
This boy has broke down
This boy is crackin' up
This boy has broken down
This boy is crackin' up
This boy has broke down


This boy is crackin' up
She plays it hard
This boy is crackin' up
This boy is crackin' up
I've been spending my money
Now you're not around
Ola
This boy is crackin' up

Senin, 13 Maret 2017

Dosen, hmm..



Jadi dosen samasekali bukan impian atau cita-cita saya. Mungkin saya tersesat di jalan yang benar? Entah, yang penting saat ini saya ada pemasukan dulu. Meski demikian masih ada hal mengganjal yang membuat saya belakangan ini berpikir ratusan kali untuk istiqomah di jalan dosen atau tidak. Tersesat di jalan dosen semula adalah keinginan saya untuk menggugurkan kewajiban saya yang dibiayai oleh negara untuk bersekolah S-2. Bersyukur bisa lanjut sekolah gratis, karena S-2 lumayan mahal bayaran semesternya (mungkin jika tidak dapat beasiswa saya akan lanjut bekerja di konsultan..).

Di usia yang sudah kritis ini, saya merasa bahwa hidup harus berubah ke arah lebih baik: sudah bukan masa bermain-main - meski kenyataannya saya masih suka main. Tetapi sayangnya sedang ada ganjalan yang membuat saya merasa susah. Semoga segera ada titik terang. Bagaimanapun saya ingin bahagia seperti yang orang lain dapatkan di hidupnya..

Rabu, 08 Maret 2017

Mama

Mama mungkin orang paling rumit yang saya temui. Orang yang paling banyak berdebat, bertengkar, namun di satu sisi juga orang yang dekat dengan saya. Wajah saya pun didominasi karakter Mama (kecuali mata saya, warisan dari Bapak). Mama adalah tipikal kebanyakan mama-mama yang senang memakai daster, senang menonton sinetron, memasak, ke tukang sayur, ke pasar, menjahit, membuat kue.

Di usia 28 tahunnya Mama - seperti umur saya ini - Mama sudah punya tiga orang anak. Mama cepat menikah, usia 19 tahun. Bagi saya mungkin mama kelewat cepat. Mama mungkin tak sebegitu menikmati masa muda dengan berkuliah, jalan-jalan, bermain dengan teman-teman, dan sebagainya. Mama justru memilih mengabdikan diri terikat dalam pernikahan. Mama selalu di rumah, rumah adalah Mama. Pergi kemanapun, saya suka disambut oleh Mama di rumah. Saya selalu suka masakan Mama. Apapun yang Mama sajikan, saya selalu makan.

Mama melakukan segala pekerjaan rumah dengan telaten: memasak, mencuci, menyapu, menjahitkan kami baju seragam, menjemput kami pulang les di SD saat selepas magrib, dan menata isi rumah. Mama yang saya ingat dulu badannya masih agak kurus. Mama suka tidur siang karena dulu kami tak punya mesin cuci: bayangkan mencuci pakaian tiga orang anak tanpa mesin cuci lalu menaiki tangga ke atap dak dapur rumah. Mama berdiri di dapur begitu lama. Mama juga sesekali mengajar kami mengaji, mengajarkan peer matematika, di sela-sela menjahit gunungan pakaian.

Terkadang saya dan Mama memang tak sejalan. Apa saja bisa diributkan. Saya sayang Mama, meski cara sayang saya ke Mama tak semulus dan seindah angan. Mama jarang memuji kami, hampir-hampir saya merasa Mama tak bangga dengan kami. Hingga pada suatu saat Mama meminta maaf bahwa Mama tak pernah mengatakan bahwa Mama bangga dengan kami. Hm, sesekali saya memang ingin dipuji Mama. Jujur. Tetapi, Mama adalah Mama yang sudah seperti itu adanya. Semoga Mama senantiasa sehat ya Ma,

Anakmu nomor tiga yang suka ndableg,

Pram

Sabtu, 07 Januari 2017

Di ARL ISTN


November 2016 lalu, Program Studi Arsitektur Lanskap ISTN mendapat akreditasi B. Semoga kedepannya semakin baik dan bertambah baik lagi, Aamiin 

Lepas dari IPB, saya dan dua rekan saya bekerja di kampus ISTN di kawasan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Lucunya, saya dan dua rekan saya: Ray dan Refi, kumpul lagi. Kami yang masih awam ini, mengalami banyak hal baru di sini. Menjadi dosen mungkin bukan menjadi cita-cita saya. Dosen, terminologi yang sebenarnya bermakna berat. Seseorang yang sepertinya sudah mencapai level sangat dewa :D. Saya malah dulunya ingin menjadi komikus. Tapi cita-cita itu sudah terkubur sejak saya SMA. Ketika lulus SMA, saya ingin jadi arsitek bangunan. Sampai akhirnya saya ingin menjadi arsitek lanskap, dan...saat ini saya nyemplung ke dunia pendidikan arsitektur lanskap.

Salah satu point + + + jadi anak lenskep: jalan-jalan!

Rekan-rekan sekelas kami kami yang lain kini mengajar di Kampus Unitri Malang. Kami semua memulai di waktu yang hampir bersamaan, kecuali Mas Rizki dan Ray yang sudah lebih dulu mengajar. Belajar bersama, konyol bersama, main bersama, (lulusnya sih nggak sama-sama,haha) dan kini kami sama-sama menjadi pengajar.

Tetep aja praktikum tanamannya ke IPB lagi :D

Dunia saya saat ini jauh berbeda ketika di kampus lama saya. Saya kini berada di dunia yang nyata. Yang dihadapi setiap hari: mahasiswa-mahasiswi, rekan kerja, sistem, lingkungan, semuanya berbeda. Menyiapkan materi, mengajar, membuat soal, mengoreksi jawaban ujian. Menjadi pengajar yang bisa membahasakan materi ajar ke dalam bahasa yang lebih sederhana, itulah yang utama. Yeah..menjadi pengajar harus tetap terus belajar kan?

 Welcome to the real world!

Saat ini, jalan yang ada di hadapan saya adalah jalan di jalur pendidikan. Senang rasanya bisa berbagi ilmu dan pengetahuan. Mas Rizki pernah berkata bahwa pintar bukan tujuan kita mengajar peserta didik. Tujuan kita adalah pendidik. Mendidik seseorang, agar punya proses, berubah ke arah yang lebih baik. Mendidik, agar paham bahwa segalanya perlu melewati serangkaian proses.

Ciaat..semangaat!!

(H-2 UAS Semester Ganjil 2016/2017)

Kamis, 10 November 2016

Berapa?

Berapa sih gaji kamu? Memang kamu bisa hidup dengan gaji segitu? Teman-temanmu itu kerja apa? Gaji mereka cukup sepertimu?

Salah seorang yang pernah saya hormati eksistensinya saat studi magister saya bertanya seperti itu, di suatu forum ilmiah internasional yang dihadiri oleh kalangan akademisi. Sejenak saya merasa terhenyak. Pertama, pertanyaan tersebut tidak etis. Kedua, orang itu memiliki latar belakang akademik tinggi. Ketiga, ada nada meremehkan saat menanyakan kepada saya. Keempat, apakah orang tersebut berpikir sebelum bertanya seperti itu?

Bukan kali pertama saya mendapatkan pernyataan seperti itu yang - menurut saya - tidak sopan. Bukan kali pertama juga saya diremehkan orang itu. Saya selalu berusaha membangun pikiran positif saya terhadapnya. Namun, pikiran saya kini kian bulat: saya tak perlu berurusan lagi dengannya di kemudian hari.

Beberapa orang memiliki persepsi yang sempit mengenai taraf kemakmuran seseorang hanya dilihat dari aspek pendapatan. Lebih sayang lagi, yang berpikir seperti itu bukanlah orang yang berpendidikan biasa-biasa saja, tetapi telah mengenyam pendidikan bertahun-tahun dengan gelar yang panjang. Jikalau hal tersebut ditanyakan orang seseorang awam, mungkin masih dapat dipahami. Tetapi apa yang bisa dijadikan pembenaran bagi seseorang yang tidak awam, yang sudah berpendidikan, untuk bertanya seperti itu? Apa yang bisa dijadikan landasan berpikir, seseorang yang sudah 'di atas' untuk bertanya dengan nada yang sama sekali tidak menyenangkan?

Ada hal-hal yang tidak perlu saya utarakan ke semua orang. Ada hal-hal yang tak perlu orang ketahui. Ada hal-hal yang tak patut untuk ditanyakan. Ada pembatas di antara sesama kita bukan?

Katakanlah saya sudah ada di titik akumulasi kekecewaan, dan saya tak menemukan titik cerah saat saya kontak dengan orang itu. Saya rasa tak ada yang perlu saya komunikasi lagi dengannya, karena menutup pintu komunikasi lebih baik ketimbang mempertahankan komunikasi yang berujung pada hal-hal yang menyakitkan.

Minggu, 23 Oktober 2016

Satu Dasawarsa


Suasana Arboretum Lanskap IPB Dramaga, sekitar 2008-2009. Ini ketauan banget pake gaya segala wkwkwk.. Entah siapa yang moto dan ini lagi ngapain (*lupa)

Beberapa bulan lalu, teman saya - Titou - mengabarkan bahwa dia tengah ada di Jakarta. Dia mengabarkan lokasi dia dan mengajak kumpul bareng di Jakarta. Di saat itu juga saya sedang dalam perjalanan menuju Surabaya. "Yah..sorry bos, gw otw ke Surabaya nih.." Sebulan kemudian, Titou mengabarkan bahwa dia sedang di Bogor, namun saat saya tengah sibuk dengan kerjaan kampus. Jika dibandingkan dengan gagal bertemu, tetap lebih banyak ketemuannya kok :D

Saya dan Titou kini memasuki masa kepala tiga puluh. Selang hampir satu dasawarsa kami berteman sejak S1 dulu, banyak hal yang berubah -yang tidak berubah juga banyak. Semakin ke sini, semakin banyak cerita yang bisa kami tukar. Kami sama-sama memasuki dunia orang dewasa yang mulai mencicipi asam garam kehidupan. Kami punya lapak kehidupan masing-masing yang berbeda. Titou yang berekspresi di lapak seninya yang dinamis dan saya yang berekspresi di lapak pendidikan yang dramatis, haha.. Setiap orang pada akhirnya memang mencari lapak kehidupan yang mereka anggap nyaman toh?

Titou adalah salah seorang yang berpengaruh dalam hidup saya: saya belajar banyak tentang budaya, desain, perilaku, buku, tanaman, film, dll. Selalu ada pesan dan energi positif yang saya bisa dapat. Terkadang kami juga suka diskusi. Meski niatnya diskusi ringan entah kenapa jatuhnya pasti ke ilmiah terus jadi diskusi kehidupan. Dari dulu yang tidak berubah saat kami ketemu adalah kami saling ejek,nyindir, dan bercanda. Tak lupa sederet pertanyaan yang saling kami lempar. Mulai dari kapan kawinnya, kapan sekolah S3-nya, kapan kurusnya, kapan main ke Sabangnya, kapan main ke Solonya, kapan bikin bukunya, nya..nya.. dll.

Semakin sulit bertemu, tentunya tidak berarti kami putus kontak. Saya sering ngintip akun facebook saya yang udah berdebu-dan-ada-laba-labanya lalu melihat-lihat bagian beranda (facebook saya pakai Bahasa Indonesia :D). Titou aktif memposting beberapa kegiatannya di bidang kesenian yang menurut saya sungguh mengasyikkan. Kalau saya sih posting paling foto yang wow aja, hanya sekedar menunjukkan "ini lho akun facebook saya masih hidup" hihi.

Teman memang datang silih berganti. Salah satu hikmah dalam kehidupan saya yang singkat ini adalah saya memiliki teman-teman yang baik.


Kamis, 15 September 2016

di 2.329 m dpl

Anak-anak kekinian sangat suka posting foto aktivitas liburan mereka yang seru. Saya mungkin salah satu dari bagian anak-anak kekinian itu lah ya, he..he. Pengalaman naik gunung palingan naik Gunung Gede-Pangrango tapi cuma sampai pos pertama yang ada curug-nya..(itupun rasanya sikil mau lepas). Pernah juga saya ke kaki Gunung Merapi tapi cuma sampai goa jepang.. Gunung Slamet pernah ke kakinya, dulu jaman tahun 2009 saat KKP ke Tegal, dan itu kepleset hampir masuk sungai berbatu.. Meskipun demikian, di benak saya adalah naik gunung ya harus bergaya ala anak gunung: bawa carrier, pakai sepatu gunung, sendal gunung, gitu-gitu dah. Belum lagi bawa tulisan romantis "kapan kita ke sini bareng" atau "untuk X cemangadh ea.." wkwkwk.

Bulan lalu saya bersyukur bisa main ke salah satu gunung yang terkenal di dunia kepariwisataan Indonesia bareng teman-teman arl pasca 2012 saya: yeah..Gunung Bromo namanya. Lokasinya di Provinsi Jawa Timur, dan berada di perbatasan wilayah Kabupaten Pasuruan, Malang, Lumajang, dan Probolinggo. Saya masuk lewat Pasuruan, tapi track nya luar bisa dag-dig-dug-dhuer..


Sesaat sebelum tiba di lautan pasir. Jalanan menurun dan menukik, jadi harus berhati-hati sekali.


Apa yang bisa dilakukan di Bromo? Melihat sunrise dari Penanjakan (sayang saya nggak dapat sunrise *dapetnya sunlight ;v), melihat Pura tempat ibadahnya orang Tengger, melihat lautan pasir dan kawasan Pasir Berbisik-nya yang menjadi judul filmnya Dian Sastro, dan tentunya adalah menaiki ratusan anak tangga menuju kawah Bromo untuk melihat kawah blup..blup..blup..

Gunung Batok

Tangga menuju kawah Bromo
 Di lautan pasir, saya melihat banyak rombongan jeep seperti rombongan kami yang datang. Kuda beserta guide lokal juga siap sedia mengantar wisatawan untuk naik melihat kawah Bromo. Kami tiba sekitar pukul 9. Matahari sudah terik, tetapi udara terasa sejuk. Jangan lupa pakai masker bagi yang tidak tahan debu karena semakin siang debu semakin intens berhembus menerbangkan pasir. Tiba-tiba saya kebayang tanah suci: gurun pasir gitu cuma ini di atas bekas kawasan Gunung Bromo purba, hehe (padahal saya belom pernah ke tanah suci, wkwk). Saya, Ray, Mas Rizki, dan Tish menaiki tangga. Tangganya banyak banget! :D Jangan dihitung, nanti mumet, hahaha. Di beberapa titik ada sesajen orang Tengger karena Bromo bagi mereka adalah suci dan memiliki makna.

Pura Hindu, tempat ibadah Orang Tengger
Singkat cerita, saya tiba di atas Bromo: melihat kawah bersama puluhan orang lain dan berfoto. Lantas saya duduk, menghadap ke arah Pura lalu memotret sepatu safety kesayangan saya, hehe. Saat itu sebenarnya saya agak pusing-ngeri-fobia sama ketinggian. Mau fobia apa nggak tetep aja nekat "pokoknya harus naek" hehe.. Nggak nyangka bisa naek gunung ala-ala seperti ini. Bromo pula :D Beberapa saat kami di atas dan menikmati lanskap Bromo yang kelabu oleh pasir..

Oh..gini ya rasanya berada di ketinggian.. pikir saya.

Saya melihat orang-orang di bawah saya keciil sekali. Kebanyakan orang yang ada di ketinggian, yang tidak berhati-hati, yang terlena akan posisi, ketika jatuh pasti sakitnya luar biasa. Yah, sama seperti hidup. Saat di puncak kesuksesan, kita seringkali lupa posisi bahwa suatu saat kita bisa saja jatuh tanpa diduga. Berhati-hati adalah suatu keharusan.


Pada akhirnya saya hanya bisa berkata "Hmm..subhanallah pemandangannya baguuus" :D Seenggaknya sekali dalam hidup saya, saya sudah mengunjungi ikon terkenal pariwisata Jawa Timur ini. Sangat menyenangkan bisa berwisata ke Gunung Bromo. Kapan-kapan main lagi ya..


Dari bibir kawah Bromo..